This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Kamis, 22 Januari 2015

AGAMA, KONFLIK DAN MASYARAKAT

Fungsi Agama
Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.
Émile Durkheim mengatakan bahwa agama adalah suatu sistem yang terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci. Kita sebagai umat beragama semaksimal mungkin berusaha untuk terus meningkatkan keimanan kita melalui rutinitas beribadah, mencapai rohani yang sempurna kesuciannya
Ada beberapa alasan tentang mengapa agama itu sangat penting dalam kehidupan manusia, antara lain adalah :
  • Karena agama merupakan sumber moral
  • Karena agama merupakan petunjuk kebenaran
  • Karena agama merupakan sumber informasi tentang masalah metafisika.
  • Karena agama memberikan bimbingan rohani bagi manusia baik di kala suka, maupun di kala duka.
Manusia sejak dilahirkan ke dunia ini dalam keadaan lemah dan tidak berdaya, serta tidak mengetahui apa-apa sebagaimana firman Allah dalam Q. S. al-Nahl (16) : 78
Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak tahu apa-apa. Dia menjadikan untukmu pendengaran, penglihatan dan hati, tetapi sedikit di antara mereka yang mensyukurinya.
Dalam keadaan yang demikian itu, manusia senantiasa dipengaruhi oleh berbagai macam godaan dan rayuan, baik dari dalam, maupun dari luar dirinya. Godaan dan rayuan daridalam diri manusia dibagi menjadi dua bagian, yaitu
  • Godaan dan rayuan yang berysaha menarik manusia ke dalam lingkungan kebaikan, yang menurut istilah Al-Gazali dalam bukunya ihya ulumuddin disebut dengan malak Al-hidayah yaitu kekuatan-kekuatan yang berusaha menarik manusia kepada hidayah ataukebaikan.
  • Godaan dan rayuan yang berusaha memperdayakan manusia kepada kejahatan,yang menurut istilah Al-Gazali dinamakan malak al-ghiwayah, yakni kekuatan-kekuatan yang berusaha menarik manusia kepada kejahatan
Disinilah letak fungsi agama dalam kehidupan manusia, yaitu membimbing manusia kejalan yang baik dan menghindarkan manusia dari kejahatan atau kemungkaran.
Fungsi Agama Kepada Manusia
Dari segi pragmatisme, seseorang itu menganut sesuatu agama adalah disebabkan oleh fungsinya. Bagi kebanyakan orang, agama itu berfungsi untuk menjaga kebahagiaan hidup. Tetapi dari segi sains sosial, fungsi agama mempunyai dimensi yang lain seperti apa yang dihuraikan di bawah:
- Memberi pandangan dunia kepada satu-satu budaya manusia.
Agama dikatankan memberi pandangan dunia kepada manusia kerana ia sentiasanya memberi penerangan mengenai dunia(sebagai satu keseluruhan), dan juga kedudukan manusia di dalam dunia. Penerangan bagi pekara ini sebenarnya sukar dicapai melalui inderia manusia, melainkan sedikit penerangan daripada falsafah. Contohnya, agama Islam menerangkan kepada umatnya bahawa dunia adalah ciptaan Allah SWTdan setiap manusia harus menaati Allah SWT
-Menjawab pelbagai soalan yang tidak mampu dijawab oleh manusia.
Sesetangah soalan yang sentiasa ditanya oleh manusia merupakan soalan yang tidak terjawab oleh akal manusia sendiri. Contohnya soalan kehidupan selepas mati, matlamat  menarik dan untuk menjawabnya adalah perlu. Maka, agama itulah berfungsi untuk menjawab soalan-soalan ini.
- Memberi rasa kekitaan kepada sesuatu kelompok manusia.
Agama merupakan satu faktor dalam pembentukkan kelompok manusia. Ini adalah kerana sistem agama menimbulkan keseragaman bukan sahaja kepercayaan yang sama, malah tingkah laku, pandangan dunia dan nilai yang sama.
– Memainkan fungsi kawanan sosial.
Kebanyakan agama di dunia adalah menyaran kepada kebaikan. Dalam ajaran agama sendiri sebenarnya telah menggariskan kod etika yang wajib dilakukan oleh penganutnya. Maka ini dikatakan agama memainkan fungsi kawanan sosial
Fungsi Sosial Agama
Secara sosiologis, pengaruh agama bisa dilihat dari dua sisi, yaitu pengaruh yang bersifat positif atau pengaruh yang menyatukan (integrative factor) dan pengaruh yang bersifat negatif atau pengaruh yang bersifat destruktif dan memecah-belah (desintegrative factor).
Pembahasan tentang fungsi agama disini akan dibatasi pada dua hal yaitu agama sebagai faktor integratif dan sekaligus disintegratif bagi masyarakat.
Fungsi Integratif Agama
Peranan sosial agama sebagai faktor integratif bagi masyarakat berarti peran agama dalam menciptakan suatu ikatan bersama, baik diantara anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang membantu mempersatukan mereka. Hal ini dikarenakan nilai-nilai yang mendasari sistem-sistem kewajiban sosial didukung bersama oleh kelompok-kelompok keagamaan sehingga agama menjamin adanya konsensus dalam masyarakat.
Fungsi Disintegratif Agama.
Meskipun agama memiliki peranan sebagai kekuatan yang mempersatukan, mengikat, dan memelihara eksistensi suatu masyarakat, pada saat yang sama agama juga dapat memainkan peranan sebagai kekuatan yang mencerai-beraikan, memecah-belah bahkan menghancurkan eksistensi suatu masyarakat. Hal ini merupakan konsekuensi dari begitu kuatnya agama dalam mengikat kelompok pemeluknya sendiri sehingga seringkali mengabaikan bahkan menyalahkan eksistensi pemeluk agama lain.

Pelembagaan Agama
Pelembagaan agama adalah suatu tempat atau lembaga dimana tempat tersebut untuk membimbing manusia yang mempunyai atau menganut suatu agama.
dan melembagai suatu agama.
seperti di Indonesia pelembagaan agamanya seperti MUI, MUI itu sendiri singkatan dari Majelis Ulama Indonesia,yang menghimpun para ulama indonesia untuk menyatukan gerak langkah islam di Indonesia, MUI yang melembagai atau membimbing suatu agama khususnya agama islam.
dengan kata lain pelembagaan agama adalah wadah untuk menampung aspirasi-aspirasi di setiap masing-masing agama. ketika ada selisih paham yang tidak sependapat dengan agama yang bersangkutan, maka masalah tersebut di bawa ke pelembagaan agama, untuk di tindak lanjuti.dengan memusyawarahkan masalah tersebut dan di ambil keputusan bersama dan di sepakati bersama pula.

Agama, Konflik dan Masyarakat
Secara sosiologis, Masyarakat agama adalah suatu kenyataan bahwa kita adalah berbeda-beda, beragam dan plural dalam hal beragama. Ini adalah kenyataan sosial, sesuatu yang niscaya dan tidak dapat dipungkiri lagi. Dalam kenyataan sosial, kita telah memeluk agama yang berbeda-beda. Pengakuan terhadap adanya pluralisme agama secara sosiologis ini merupakan pluralisme yang paling sederhana, karena pengakuan ini tidak berarti mengizinkan pengakuan terhadap kebenaran teologi atau bahkan etika dari agama lain.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh M. Rasjidi bahwa agama adalah masalah yang tidak dapat ditawar-tawar, apalagi berganti. Ia mengibaratkan agama bukan sebagai (seperti) rumah atau pakaian yang kalau perlu dapat diganti. Jika seseorang memeluk keyakinan, maka keyakinan itu tidak dapat pisah darinya. Berdasarkan keyakinan inilah, menurut Rasjidi, umat beragama sulit berbicara objektif dalam soal keagamaan, karena manusia dalam keadaan involved (terlibat). Sebagai seorang muslim misalnya, ia menyadari sepenuhnya bahwa ia involved (terlibat) dengan Islam. Namun, Rasjidi mengakui bahwa dalam kenyataan sejarah masyarakat adalah multi-complex yang mengandung religious pluralism, bermacam-macam agama. Hal ini adalah realitas, karena itu mau tidak mau kita harus menyesuaikan diri, dengan mengakui adanya religious pluralism dalam masyarakat Indonesia.
Banyak konflik yang terjadi di masyarakat Indonesia disebabkan oleh pertikaian karena agama. Contohnya tekanan terhadap kaum minoritas (kelompok agama tertentu yang dianggap sesat, seperti Ahmadiyah) memicu tindakan kekerasan yang bahkan dianggap melanggar Hak Asasi Manusia. Selain itu, tindakan kekerasan juga terjadi kepada perempuan, dengan menempatkan tubuh perempuan sebagai objek yang dianggap dapat merusak moral masyarakat. Kemudian juga terjadi kasus-kasus perusakan tempat ibadah atau demonstrasi menentang didirikannya sebuah rumah ibadah di beberapa tempat di Indonesia, yang mana tempat itu lebih didominasi oleh kelompok agama tertentu sehingga kelompok agama minoritas tidak mendapatkan hak.
Permasalah konflik dan tindakan kekerasan ini kemudian mengarah kepada pertanyaan mengenai kebebasan memeluk agama serta menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan tersebut. Seperti yang kita ketahui bahwa dalam UUD 1945, pasal 29 Ayat 2, sudah jelas dinyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama dalam memeluk agama dan akan mendapat perlindungan dari negara.
Pada awal era Reformasi, lahir kebijakan nasional yang menjamin kebebasan beragama di Indonesia. Namun secara perlahan politik hukum kebijakan keagamaan di negeri ini mulai bergeser kepada ketentuan yang secara langsung membatasi kebebasan beragama. Kondisi ini kemudian menyebabkan terulangnya kondisi yang mendorong menguatnya pemanfaatan kebijakan-kebijakan keagamaan pada masa lampau yag secara substansial bertentangan dengan pasal HAM dan konstitusi di Indonesia.
Hal ini lah yang dilihat sebagai masalah dalam makalah ini, yaitu tentang konflik antar agama yang menyebabkan tindakan kekerasan terhadap kaum minoritas dan mengenai kebebasan memeluk agama dan beribadah dalam konteks relasi sosial antar agama. Penyusun mencoba memberikan analisa untuk menjawab masalah ini dilihat dari sudut pandang kerangka analisis sosiologis: teori konflik.
Konflik yang ada dalam Agama dan Masyarakat
Di beberapa wilayah, integritas masyarakat masih tertata dengan kokoh. Kerjasama dan toleransi antar agama terjalin dengan baik, didasarkan kepada rasa solidaritas, persaudaraan, kemanusiaan, kekeluargaan dan kebangsaan. Namun hal ini hanya sebagian kecil saja karena pada kenyataannya masih banyak terjadi konflik yang disebabkan berbagai faktor yang kemudian menyebabkan disintegrasi dalam masyarakat.
Banyak konflik yang terjadi di masyarakat Indonesia disebabkan oleh pertikaian karena agama. Contohnya tekanan terhadap kaum minoritas (kelompok agama tertentu yang dianggap sesat, seperti Ahmadiyah) memicu tindakan kekerasan yang bahkan dianggap melanggar Hak Asasi Manusia. Selain itu, tindakan kekerasan juga terjadi kepada perempuan, dengan menempatkan tubuh perempuan sebagai objek yang dianggap dapat merusak moral masyarakat. Kemudian juga terjadi kasus-kasus perusakan tempat ibadah atau demonstrasi menentang didirikannya sebuah rumah ibadah di beberapa tempat di Indonesia, yang mana tempat itu lebih didominasi oleh kelompok agama tertentu sehingga kelompok agama minoritas tidak mendapatkan hak.
Permasalah konflik dan tindakan kekerasan ini kemudian mengarah kepada pertanyaan mengenai kebebasan memeluk agama serta menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan tersebut. Seperti yang kita ketahui bahwa dalam UUD 1945, pasal 29 Ayat 2, sudah jelas dinyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama dalam memeluk agama dan akan mendapat perlindungan dari negara.
Pada awal era Reformasi, lahir kebijakan nasional yang menjamin kebebasan beragama di Indonesia. Namun secara perlahan politik hukum kebijakan keagamaan di negeri ini mulai bergeser kepada ketentuan yang secara langsung membatasi kebebasan beragama. Kondisi ini kemudian menyebabkan terulangnya kondisi yang mendorong menguatnya pemanfaatan kebijakan-kebijakan keagamaan pada masa lampau yag secara substansial bertentangan dengan pasal HAM dan konstitusi di Indonesia.
Hal ini lah yang dilihat sebagai masalah dalam makalah ini, yaitu tentang konflik antar agama yang menyebabkan tindakan kekerasan terhadap kaum minoritas dan mengenai kebebasan memeluk agama dan beribadah dalam konteks relasi sosial antar agama. Penyusun mencoba memberikan analisa untuk menjawab masalah ini dilihat dari sudut pandang kerangka analisis sosiologis: teori konflik.







SUMBER: click here

PELEMBAGAAN AGAMA

Pelembagaan agama adalah suatu tempat atau lembaga untuk membimbing, membina dan mengayomi suatu kaum yang menganut agama.
Salah satu lembaga agama adalah :
MUI berdiri sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu’ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air, antara lain meliputi dua puluh enam orang ulama yang mewakili 26 Provinsi di Indonesia pada masa itu, 10 orang ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu,NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al Washliyah, Math’laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan Al Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut danPOLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan. Dari musyawarah tersebut, dihasilkan adalah sebuah kesepakatan untuk membentuk wadah tempat bermusyawarahnya para ulama. zuama dan cendekiawan muslim, yang tertuang dalam sebuah “Piagam Berdirinya MUI,” yang ditandatangani oleh seluruh peserta musyawarah yang kemudian disebut Musyawarah Nasional Ulama I.
Momentum berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia tengah berada pada fase kebangkitan kembali, setelah 30 tahun merdeka, di mana energi bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap masalah kesejahteraan rohani umat. Dalam perjalanannya, selama dua puluh lima tahun, Majelis Ulama Indonesia sebagai wadah musyawarah para ulama, zu’ama dan cendekiawan muslim berusaha untuk :
§  memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam Indonesia dalam mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridhoi Allah Subhanahu wa Ta’ala;
§  memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhwah Islamiyah dan kerukunan antar-umat beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa serta;
§  menjadi penghubung antara ulama dan umaro (pemerintah) dan penterjemah timbal balik antara umat dan pemerintah guna mensukseskan pembangunan nasional;
§  meningkatkan hubungan serta kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan cendekiawan muslimin dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada masyarakat khususnya umat Islam dengan mengadakan konsultasi dan informasi secara timbal balik.

MUI Sebagai organisasi yang dilahirkan oleh para ulama, zuama dan cendekiawan muslim serta tumbuh berkembang di kalangan umat Islam, Majelis Ulama Indonesia adalah gerakan masyarakat. Dalam hal ini, Majelis Ulama Indonesia tidak berbeda dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan lain di kalangan umat Islam, yang memiliki keberadaan otonom dan menjunjung tinggi semangat kemandirian. Semangat ini ditampilkan dalam kemandirian -- dalam arti tidak tergantung dan terpengaruh -- kepada pihak-pihak lain di luar dirinya dalam mengeluarkan pandangan, pikiran, sikap dan mengambil keputusan atas nama organisasi.
Dalam kaitan dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan di kalangan umat Islam, Majelis Ulama Indonesia tidak bermaksud dan tidak dimaksudkan untuk menjadi organisasi supra-struktur yang membawahi organisasi-organisasi kemasyarakatan tersebut, dan apalagi memposisikan dirinya sebagai wadah tunggal yang mewakili kemajemukan dan keragaman umat Islam. Majelis Ulama Indonesia , sesuai niat kelahirannya, adalah wadah silaturrahmi ulama, zuama dan cendekiawan Muslim dari berbagai kelompok di kalangan umat Islam.
Kemandirian Majelis Ulama Indonesia tidak berarti menghalanginya untuk menjalin hubungan dan kerjasama dengan pihak-pihak lain baik dari dalam negeri maupun luar negeri, selama dijalankan atas dasar saling menghargai posisi masing-masing serta tidak menyimpang dari visi, misi dan fungsi Majelis Ulama Indonesia. Hubungan dan kerjasama itu menunjukkan kesadaran Majelis Ulama Indonesia bahwa organisasi ini hidup dalam tatanan kehidupan bangsa yang sangat beragam, dan menjadi bagian utuh dari tatanan tersebut yang harus hidup berdampingan dan bekerjasama antarkomponen bangsa untuk kebaikan dan kemajuan bangsa. Sikap Majelis Ulama Indonesia ini menjadi salah satu ikhtiar mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil alamin (Rahmat bagi Seluruh Alam)







SUMBER: click here

FUNGSI AGAMA

I. Definisi Agama
Dengan singkat definisi agama menurut sosiologi adalah definisi yang empiris. Sosiologi tidak pernah memberikan definisi agama yang evaluative (menilai). Sosiologi angkat tangan mengenai hakikat agama, baiknya atau buruknya agama atau agama–agama yang tengah diamatinya. Dari pengamatan ini sosiologi hanya sanggup memberikan definisi deskriptif (menggambarkan apa adanya) yang mengungkapkan apa yang dimengerti dan dialami pemeluk-pemeluknya.
Definisi agama menurut Durkheim adalah suatu “sistem kepercayaan dan praktek yang telah dipersatukan yang berkaitan dengan hal-hal yang kudus kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek yang bersatu menjadi suatu komunitas moral yang tunggal.” Dari definisi ini ada dua unsur yang penting, yang menjadi syarat sesuatu dapat disebut agama, yaitu “sifat kudus” dari agama dan “praktek-praktek ritual” dari agama. Agama tidak harus melibatkan adanya konsep mengenai suatu mahluk supranatural, tetapi agama tidak dapat melepaskan kedua unsur di atas, karena ia akan menjadi bukan agama lagi, ketika salah satu unsur tersebut terlepas. Di sini terlihat bahwa sesuatu dapat disebut agama bukan dilihat dari substansi isinya tetapi dari bentuknya, yang melibatkan dua ciri tersebut.
Sedangkan menurut pendapat Hendro puspito, agama adalah suatu jenis sosial yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berproses pada kekuatan-kekuatan non-empiris yang dipercayainya dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi mereka dan masyarakat luas umumya. Dalam kamus sosiologi, pengertian agama ada 3 macam yaitu:
1.      Kepercayaan pada hal-hal yang spiritual
2.      Perangkat kepercayaan dan praktek-praktek spiritual yang dianggap sebagai tujuan tersendiri
3.      Ideologi mengenai hal-hal yang bersifat supranatural
II. Ruang Lingkup Agama
Secara garis besar ruang lingkup agama mencakup :
a.       Hubungan manusia dengan tuhannya
Hubungan dengan tuhan disebut ibadah. Ibadah bertujuan untuk mendekatkan diri manusia kepada tuhannya.
b.      Hubungan manusia dengan manusia
Agama memiliki konsep-konsep dasar mengenai kekeluargaan dan kemasyarakatan. Konsep dasar tersebut memberikan gambaran tentang ajaran-ajaran agama mengenai hubungan manusia dengan manusia atau disebut pula sebagai ajaran kemasyarakatan. Sebagai contoh setiap ajaran agama mengajarkan tolong-menolong terhadap sesama manusia.
c.       Hubungan manusia dengan makhluk lainnya atau lingkungannya.
Di setiap ajaran agama diajarkan bahwa manusia selalu menjaga keharmonisan antara makluk hidup dengan lingkungan sekitar supaya manusia dapat melanjutkan kehidupannya.
III. Fungsi dan Peran Agama Dalam Masyarakat
Dalam hal fungsi, masyarakat dan agama itu berperan dalam mengatasi persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat yang tidak dapat   dipecahakan   secara   empiris   karena   adanya   keterbatasan kemampuan dan ketidakpastian. Oleh karena itu, diharapkan agama menjalankan   fungsinya   sehingga   masyarakat   merasa   sejahtera, aman, stabil, dan sebagainya. Agama dalam masyarakat bisa difungsikan sebagai berikut :
a.       Fungsi edukatif.
Agama memberikan bimbingan dan pengajaaran dengan perantara petugas-petugasnya (fungsionaris) seperti syaman, dukun, nabi, kiai, pendeta imam, guru agama dan lainnya, baik dalam upacara (perayaan) keagamaan, khotbah, renungan (meditasi) pendalaman rohani, dsb.
b.      Fungsi penyelamatan.
Bahwa setiap manusia menginginkan keselamatan baik dalam hidup sekarang ini maupun sesudah mati. Jaminan keselamatan ini hanya bisa mereka temukan dalam agama. Agama membantu manusia untuk mengenal sesuatu “yang sakral” dan “makhluk teringgi” atau Tuhan dan berkomunikasi dengan-Nya. Sehingga dalam yang hubungan ini manusia percaya dapat memperoleh apa yang ia inginkan. Agama sanggup mendamaikan kembali manusia yang salah dengan Tuhan dengan jalan pengampunan dan Penyucian batin.
c.       Fungsi pengawasan sosial (social control)
Fungsi agama sebagai kontrol sosial yaitu :
  • Agama meneguhkan kaidah-kaidah susila dari adat yang dipandang baik bagi kehidupan moral warga masyarakat.
  • Agama mengamankan dan melestarikan kaidah-kaidah moral ( yang dianggap baik )dari serbuan destruktif dari agama baru dan dari system hokum Negara modern.
d.      Fungsi memupuk Persaudaraan.
Kesatuan persaudaraan berdasarkan kesatuan sosiologis ialah kesatuan manusia-manusia yang didirikan atas unsur kesamaan.
  • Kesatuan persaudaraan berdasarkan ideologi yang sama, seperti liberalism, komunisme, dan sosialisme.
  • Kesatuan persaudaraan berdasarkan sistem politik yang sama. Bangsa-bangsa bergabung dalam sistem kenegaraan besar, seperti NATO, ASEAN dll.
  • Kesatuan persaudaraan atas dasar se-iman, merupakan kesatuan tertinggi karena dalam persatuan ini manusia bukan hanya melibatkan sebagian dari dirinya saja melainkan seluruh pribadinya dilibatkan dalam satu intimitas yang terdalam dengan sesuatu yang tertinggi yang dipercayai bersama
e.       Fungsi transformatif.
Fungsi transformatif disini diartikan dengan mengubah bentuk kehidupan baru atau mengganti nilai-nilai lama dengan menanamkan nilai-nilai baru yang lebih bermanfaat.
Sedangkan  menurut   Thomas   F.  O’Dea  menuliskan   enam  fungsi agama dan masyarakat yaitu:
1.      Sebagai pendukung, pelipur lara, dan perekonsiliasi.
2.      Sarana hubungan  transendental  melalui  pemujaan dan upacara
Ibadat.
3.      Penguat norma-norma dan nilai-nilai yang sudah ada.
4.      Pengoreksi fungsi yang sudah ada.
5.      Pemberi identitas diri.
6.      Pendewasaan agama.
Sedangkan menurut  Hendropuspito  lebih ringkas  lagi,  akan tetapi   intinya   hampir   sama.   Menurutnya   fungsi   agama   dan masyarakat   itu   adalah   edukatif,   penyelamat,   pengawasan   sosial, memupuk persaudaraan, dan transformatif.
Agama memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia dan
masyarakat, karena agama memberikan sebuah system nilai yang memiliki derivasi
pada norma-norma masyarakat untuk memberikan pengabsahan dan pembenaran dalam
mengatur pola perilaku manusia, baik di level individu dan masyarakat. Agama
menjadi sebuah pedoman hidup singkatnya. Dalam memandang nilai, dapat kita lihat dari dua sudut pandang. Pertama, nilai  agama dilihat dari sudut intelektual yang menjadikan nilai agama sebagai norma  atau prinsip. Kedua, nilai agama dirasakan di sudut pandang emosional yang menyebabkan adanya sebuah dorongan rasa dalam diri yang disebut mistisme.
IV. Pengaruh Agama Terhadap Kehidupan Manusia
Sebagaimana telah dijelaskan dari pemaparan diatas, jasa terbesar agama adalah mengarahkan perhatian manusia kepada masalah yang penting yang selalu menggoda manusia yaitu masalah “arti dan makna”. Manusia membutuhkan bukan saja pengaturan emosi, tetapi juga kepastian kognitif tentang perkara-perkara seperti kesusilaan, disiplin, penderitaan, kematian, nasib terakhir. Terhadap persoalan tersebut agama menunjukan kepada manusia jalan dan arah kemana manusia dapat mencari jawabannya. Dan jawaban tersebut hanya dapat diperoleh  jika manusia beserta masyarakatnya mau menerima suatu yang ditunjuk sebagai “sumber” dan “terminal terakhir” dari segala kejadian yang ada di dunia. Terminal terakhir ini berada dalam dunia supra-empiris yang tidak dapat dijangkau tenaga indrawi maupun otak manusiawi, sehingga tidak dapat dibuktikan secara rasional, malainkan harus diterima sebagai kebenaran. Agama juga telah meningkatkan kesadaran yang hidup dalam diri manusia akan kondisi eksistensinya yang berupa ketidakpastian dan ketidakmampuan untuk menjawab problem hidup manusia yang berat.
Para ahli kebuadayaan yang telah mengadakan pengamatan mengenai aneka kebudayaan berbagai bangsa sampai pada kesimpulan, bahwa agama merupakan unsur inti yang paling mendasar dari kebudayaan manusia, baik ditinjau dari segi positif maupun negatif. Masyarakat adalah suatu fenomena sosial yang terkena arus perubahan terus-menerus yang dapat dibagi dalam dua kategori : kekuatan batin (rohani) dan kekuatan lahir (jasmani). Contoh perubahan yang disebabkan kekuatan lahir ialah perkembangan teknologi yang dibuat oleh manusia. Sedangkan contoh perubahan yang disebabkan oleh kekuatan batin adalah demokrasi, reformasi, dan agama. Dari analisis komparatif ternyata bahwa agama dan nilai-nilai keagamaan merupakan kekuatan pengubah yang terkuat dari semua kebudayaan, agama dapat menjadi inisiator ataupun promotor, tetapi juga sebagai alat penentang yang gigih sesuai dengan kedudukan agama.
Secara sosiologis, pengaruh agama bisa dilihat dari dua sisi, yaitu pengaruh yang bersifat positif atau pengaruh yang menyatukan (integrative factor) dan pengaruh yang bersifat negatif atau pengaruh yang bersifat destruktif dan memecah-belah (desintegrative factor).
Pembahasan tentang fungsi agama disini akan dibatasi pada dua hal yaitu agama sebagai faktor integratif dan sekaligus disintegratif bagi masyarakat, pengaruh yang bersifat integratif. Peranan sosial agama sebagai faktor integratif bagi masyarakat berarti peran agama dalam menciptakan suatu ikatan bersama, baik diantara anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang membantu mempersatukan mereka. Hal ini dikarenakan nilai-nilai yang mendasari sistem-sistem kewajiban sosial didukung bersama oleh kelompok-kelompok keagamaan sehingga agama menjamin adanya konsensus dalam masyarakat. Fungsi Disintegratif Agama adalah, meskipun agama memiliki peranan sebagai kekuatan yang mempersatukan, mengikat, dan memelihara eksistensi suatu masyarakat, pada saat yang sama agama juga dapat memainkan peranan sebagai kekuatan yang mencerai-beraikan, memecah-belah bahkan menghancurkan eksistensi suatu masyarakat. Hal ini merupakan konsekuensi dari begitu kuatnya agama dalam mengikat kelompok pemeluknya sendiri sehingga seringkali mengabaikan bahkan menyalahkan eksistensi pemeluk agama lain
V. Pengaruh Agama Terhadap Stratifikasi Sosial
Didalam ajaran sosiologi kita mengenal pengertian stratifikasi sosial yang mempunyai pengertian yaitu, susunan berbagai kedudukan sosial menurut tinggi rendahnya dalam masyarakat. Seorang pengamat menggambarkan masyarakat sebagai suatu tanda yang berdiri yang mempunyai anak tanggga-anak tangga dari bawah keatas. Stratifikasi sosial itu tidak sama antara masyarakat satu dengan yang lain karena setiap masyarakat mempunyai stratifikasi sosialnya sendiri . Jika jarak antara tangga yang satu dengan anak tangga yang ada diatasnya ditarik horizontal, maka terdapat suatu ruang. Ruang itu disebut lapisan sosial. Jadi lapisan sosial adalah keseluruhan orang yang berkedudukan lapisan sosial setingkat . Contoh pengaruh agama terhadap stratifikasi pada golongan petani, sikap mental golongan petani terbentuk oleh situasi dan kondisi dimana mereka hidup, yang antara lain adalah faktor klimatologis dan hidrologis seperti musim dingin dan musim panas, yang sejalan dengan musim kering dan musim penghujan. Golongan petani selalu bergumul dengan pemainan hukum alam (pertanian). Hukum cocok tanam kadang sulit diperhitungkan secara cermat selalu bersandar pada kedermawanan alam yang datang lambat & tidak menentu. Maka kaum petani lebih cenderung untuk mendayagunakan kekuatan-kekuatan magis (supra-empiris) guna membantu mereka dalam menentukan hari yang tepat. Semangat religius golongan petani itu terlihat dari pengadaan sejumlah pesta pertanian pada peristiwa penting, misalnya kaum petani di Indonesia mengadakan selamatan pada saat menanam benih dan waktu panen, sampai sekarang ini banyak petani di Indonesia masih mengadakan ritual tersebut.
VI. KELESTARIAN AGAMA DALAM MASYARAKAT
Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan, kemudian lahir pemikiran-pemikiran yang berlandaskan pada pemikiran sekuler seperti pemikiran Max Weber yang mengatakan bahwa pada masyarakat modern agama akan lenyap karena pada masyarakat modern dikuasai oleh teknologi dan birokrasi. Tetapi pemikiran tersebut itu belum terbukti dalam kurun waktu terkhir ini. Sebagai contoh yang terjadi di negara-negara komunis seperti Rusia, RRC, Vietnam yang menerapkan penghapusan agama karena tidak sesuai dengan ideologi negara tersebut, tetapi beberapa orang berhasil mempertahankan agama tersebut, bahkan umat beragama semakin meningkat. Dengan mengirasionalkan agama bahwa agama adalah sesuatu yang salah dalam pemikiran, tetapi dengan sendirinya umat beragama dapat berpikir dan mengetahui apa yang dipikirkan mengenai agama. Sehingga umat beragama dapat memahami apa arti sebuah agama dam manfaatnya.
Karena semakin berkembangnya ilmu pengetahuan yang demikian dinamis, teori-teori lama kemudian mengalami penyempurnaan dan revisi. Bukan pada tempatnya membandingkan kebenaran ilmu pengetahuan dengan kebenaran yang diperoleh dari informasi agama. Pemeluk agama meyakini kebenaran agama sebagai kebenaran yang bersifat kekal, sementara kebenaran ilmu pengetahuan bersifat dinamis sesuai dengan perkembangan kemampuan pola pikir manusia. Ilmu pengetahuan sendiri sebenarnya bisa menjadi bagian dari penafsiran nilai-nilai agama. Sepertia yang dikatakan David Tracy bahwa ilmu pengetahuan itu mengandung dimensi religious, karena untuk dapat dipahami, dan diterima diperlukan keterlibatan diri dengan soal Ketuhanan dan agama.
Fungsi Agama dalam Masyarakat
Agama menurut kamus besar Bahasa Indonesia adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya .

Fungsi Agama dalam Masyarakat meliputi :
1. Sumber pedoman hidup
2. Mengatur tata cara hubungan manusia dengan tuhannya ataupun manusia dengan manusia
3. Tuntunan tentang kebenaran atau kesalahan
4. Pedoman mengungkapkan rasa kebersamaan
5. Pedoman untuk menanamkan keyakian
6. Pedoman keberadaan
7. Pengungkapan estetika (keindahan)
8. Pedoman untuk rekreasi dan hiburan
9. Memberikan identitas pada manusia sebagai umat suatu agama
Agama sangatlah penting dalam kehidupan manusia. Demikian pentingnya agama dalam kehidupan manusia, sehingga diakui atau tidak sesungguhnya manusia sangatlah membutuhkan agama dan sangat dibutuhkanya agama oleh manusia. Tidak saja di massa premitif dulu sewaktu ilmu pengetahuan belum berkembang tetapi juga di zaman modern sekarang sewaktu ilmu dan teknologi telah demikian maju. Berikut ini fungsi-fungsi dari agama: a. Agama merupakan sumber moral Manusia sangatlah memerlukan akhlaq atau moral, karena moral sangatlah penting dalam kehidupan. Moral adalah mustika hidup yang membedakan manusia dari hewan. Manusia tanpa moral pada hakekatnya adalah binatang dan manusia yang membinatang ini sangatlah berbahaya, ia akan lebih jahat dan lebih buas dari pada binatang buas sendiri. Tanpa moral kehidupan akan kacau balau, tidak saja kehidupan perseorangan tetapi juga kehidupan masyarakat dan negara, sebab soal baik buruk atau halal haram tidak lagi dipedulikan orang. Dan kalau halal haram tidak lagi dihiraukan. Ini namanya sudah maehiavellisme. Machiavellisme adalah doktrin machiavelli “tujuan menghalalkan cara kalau betul ini yang terjadi, biasa saja kemudian bangsa dan negara hancur binasa. Ahmad Syauqi, 1868 – 1932 seorang penyair Arab mengatakan “bahwa keberadaan suatu bangsa ditentukan oleh akhlak, jika akhlak telah lenyap, akan lenyap pulalah bangsa itu”. Dalam kehidupan seringkali moral melebihi peranan ilmu, sebab ilmu adakalanya merugikan. “kemajuan ilmu dan teknologi mendorong manusia kepada kebiadapan” Demikian dikatakan oleh Prof. Dr. Alexis Carrel seorang sarjana Amerika penerima hadiah nobel 1948 “moral dapat digali dan diperoleh dalam agama, karena agama adalah sumber moral paling teguh. Nabi Muhammad Saw di utus tidak lain juga untuk membawa misi moral, yaitu untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” W.M. Dixo dalam “The Human Situation” menulis “ Agama betul atau salah dengan ajarannya percaya kepada Tuhan dan kehidupan akherat yang akan datang, adalah dalam keseluruhannya kalau tidak satu-satunya peling sedikit kita boleh percaya, merupakan dasar yang paling kecil bagi moral”. Dari tulisan W.M. Dixon di atas ini dapat diketahui bahwa agama merupakan sumber dan dasar (paling kuat) bagi moral, karena agama menganjurkan kepercayaan kepada Tuhan dan kehidupan akherat. Pendapat Dixon ini memang betul. Kalau orang betul beriman bahwa Tuhan itu ada dan Tuhan yang ada itu maha mengetahui kepada tiap orang sesuai dengan amal yang dikerjakannya, maka keimanan seperti ini merupakan sumber yang tidak kering-keringnya bagi moral. Itulah sebabnya ditegaskan oleh Rasulullah Saw. Yang artinya : ”Orang mukmin yang paling sempurna imanya ialah orang mukmin yang paling baik akhlaqnya” (Riwayat Tirmizi) Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pentingnya agama dalam kehidupan disebabkan oleh sangat diperlukannya moral oleh manusia, karena agama bersumber dari agama. Dan agama menjadi sumber moral, karena agama menganjurkan iman kepada Tuhan dan kehidupan akherat, dan selain itu karena adanya perintah dan larangan dalam agama. b. Agama merupakan petunjuk kebenaran Salah satu hal yang ingin diketahui oleh manusia ialah apa yang bernama kebenaran. Masalah ini masalah besar, dan menjadi tanda tanya besar bagi manusia sejak zaman dahulu kala. Apa kebenaran itu, dan dimana dapat diperoleh manusia dengan akal, dengan ilmu dan dengan filsafatnya ingin mengetahui dan mencapainya dan yang menjadi tujuan ilmu dan filsafat tidak lain juga untuk mencari jawaban atas tanda tanya besar itu, yaitu masalah kebenaran. Tetapi dapat disayangkan, sebagaimana telah disebutkan dalam uraian terdahulu, sebegitu jauh usaha ilmu dan filsafat untuk mencapai kemampuan ilmu dan filsafat hanyalah sampai kepada kebenaran relatif atau nisbi, padahal kebenaran relatif atau nisbi bukanlah kebenaran yang sesungguhnya. Kebenaran yang sesungguhnya ialah kebenaran mutlak dan universal, yaitu kebenaran yang sungguh-sungguh benar, absolut dan berlaku untuk semua orang. Tampakya sampai kapanpun masalah kebenaran akan tetap merupakan misteri bagi manusia, kalau saja manusia hanya mengandalkan alat yang bernama akal, atau ilmu atau juga filsafat (Demoikritas, 2004 : 360-460) Kebenaran itu dalam sekali letaknya tidak terjangkau semuanya oleh manusia. Penganut-penganut sufisme, yaitu aliran baru dalam filsafat Yunani yang timbul pada pertengahan abad ke-5 menegaskan pula”. Kebenaran yang sebenar-benarnya tidak tercapai oleh manusia. Kemudian Bertrand Rossel seorang Failosuf Inggris termasyur juga berkata “apa yang tidak sanggup dikerjakan oleh ahli ilmu pengetahuan, ialah menentukan kebajikan (haq dan bathil). Segala sesuatu yang berkenaan dengan nilai-nilai adalah di luar bidang ilmu pengetahuan. Hal ini sesuai dengan firman Allah yang artinya “Sesungguhnya telah kami turunkan al-Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran agar kamu memberi kepastian hukum di antara manusia dengan apa yang telah ditunjukkan oleh Allah kepadamu” (an-Nisa’, 105) c. Agama merupakan sumber informasi tentang masalah metafisika Prof Arnoid Toynbee memperkuat pernyataan yang demikian ini. Menurut ahli sejarah Inggris kenamaan ini tabir rahasia alam semesta juga ingin di singkap oleh manusia. Dalam bukunya “An Historian’s Aproach to religion” dia menulis, “ Tidak ada satu jiwapun akan melalui hidup ini tanpa mendapat tantantangan-rangsangan untuk memikirkan rahasia alam semesta”. Ibnu Kholdum dalam kitab Muqaddimah-nya menulis “akal ada sebuah timbangan yang tepat, yang catatannya pasti dan bisa dipercaya. Tetapi mempergunakan akal untuk menimbang hakekat dari soal-soal yang berkaitan dengan keesaan Tuhan, atau hidup sesudah mati, atau sifat-sifat Tuhan atau soal-soal lain yang luar lingkungan akal, adalah sebagai mencoba mempergunakan timbangan tukang emas untuk menimbang gunung, ini tidak berarti bahwa timbangannya itu sendiri yang kurang tepat. Soalnya ialah karena akal mempunyai batas-batas yang membatasinya. Berhubungan dengan itu persoalan yang menyangkut metafisika masih gelap bagi manusia dan belum mendapat penyelesaian semua tanda tanya tentang itu tidak terjawab oleh akal. d. Agama memberikan bimbingan rohani bagi manusia, baik dikala suka maupun di kala duka Hidup manusia di dunia yang pana ini kadang-kadang suka tapi kadang-kadang juga duka. Maklumlah dunia bukanlah surga, tetapi juga bukan neraka. Jika dunia itu surga, tentulah hanya kegembiraan yang ada, dan jika dunia itu neraka tentulah hanya penderitaan yang terjadi. Kenyataan yang menunjukan bahwa kehidupan dunia adalah rangkaian dari suka dan duka yang silih berganti. Firman Allah Swt yang artinya : “Setiap jiwa pasti akan merasakan kematian, dan engkau kami coba dengan yang buruk dan dengan yang baik sebagai ujian” (al-Ambiya, 35). Dalam masyarakat dapat dilihat seringkali orang salah mengambil sikap menghadapi cobaan suka dan duka ini. Misalnya dikala suka, orang mabuk kepayang da lupa daratan. Bermacam karunia Tuhan yang ada padanya tidak mengantarkan dia kepada kebaikan tetapi malah membuat manusia jahat. (Shaleh, 2005: 45) Berdasarkan uraian di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa sikap yang salah juga sering dilakukan orang sewaktu di rundung duka. Misalnya orang hanyut dalam himpitan kesedihan yang berkepanjangan. Dari sikap yang keliru seperti itu dapat timbul gangguan kejiwaan seperti lesu, murung, malas, kurang gairah hidup, putus asa dan merasa tidak berguna bagi orang lain.








SUMBER: click here

KEMISKINAN

Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan , pakaian , tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan.
Kemiskinan dipahami dalam berbagai cara. Pemahaman utamanya mencakup:

  • Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangansehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar.
  • Gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi.
  • Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna “memadai” di sini sangat berbeda-beda melintasi bagian-bagian politik dan ekonomi di seluruh dunia.


Ciri-ciri manusia yg berada di bawah kemiskinan
mereka yang hidup dibawah garis kemiskinan memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
  1. Tidak memiliki factor-faktor produksi sendiri seperti tanah, modal, ketrampilan.
  2. DllTidak memiliki kemungkinan untuk memperoleh asset produksi dengan kekuatan
  3. sendiri, seperti untuk memperoleh tanah garapan ataua modal usahaTingkat pendidikan mereka rendah, tidak sampai taman SD.
  4. Kebanyakan tinggal di desa sebagai pekerja bebas
  5. Banyak yang hidup di kota berusia muda, dan tidak mempunyai ketrampilan.
Fungsi-fungsi Orang Miskin

Pertama : adalah menyediakan tenaga kerja untuk pekerjaan kotor, tidak terhormat, berat, berbahaya, tetapi di bayar murah.
Kedua : kemiskinan adalah menambah atau memperpanjang nilai guna barang atau jasa. Baju bekas yang sudah tidak terpakai dapat di jual ( atau dengan bangga di katakan ” di infakan ”)kepada orang-orang miskin.
Ketiga : kemiskinan adalah mensubsidi berbagai kegiatan ekonomi yang menguntungkan orang-orang kaya. Pegawai-pegawai kecil, karena di bayar murah, petani tidak boleh menaikan harga beras mereka untuk mensubsidi orang-orang kota.
Kempat : kemiskinan adalah menyediakan lapangan kerja,bagaimana mungkin orang miskin memberikan lapangan kerja ? karena ada orang miskin lahirlah pekerjaan tukang kredit ( barang atau uang ) aktivis-aktivis LSM ( yang menyalurkan dana dari badan-badan internasional lewat para aktivis yang belum mendapatkan pekerjaan kantor ) belakangan kita tahu bahwa tidak ada komunitas yang paling laku di jual oleh negara ketiga di pasaran internasional selain kemiskinan.
Kelima : kemiskinan adalah memperteguh status sosial orang-orang kaya, perhatikan jasa orang miskin pada perilaku orang-orang kaya baru. Sopir yang menemaninya memberikan label bos kepadanya.Nyonya-nyonya dapat menunjukan kekuasaannya dengan memerintah inem-inem mengurus rumah tangganya.
PENDAPAT
ilmu pengetahuan dan teknologi memiliki kaitan yang jelas, yakni teknologi merupakan penerapan dari ilmu pengetahuan. Selain itu, teknologi juga mengandung ilmu pengetahuan didalamnya. Ilmu pengatahuan digunakan untuk mengatahui “apa” sedangkan teknologi digunakan untuk mengatahui “bagaimana”. Perubahan teknologi yang cepat dapat menyebabkan kemiskinan, karena dapat menyebabkan perubahan sosial yang fundamental.







SUMBER: click here

ILMU PENGETAHUAN, TEKNOLOGI DAN NILAI

Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia . Segi-segi ini dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu memberikan kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya.
Ilmu bukan sekadar pengetahuan (knowledge), tetapi merangkum sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat secara sistematik diuji dengan seperangkat metode  yang diakui dalam bidang ilmu tertentu. Dipandang dari sudut filsafat, ilmu terbentuk karena manusia berusaha berfikir lebih jauh mengenai pengetahuan yang dimilikinya. Ilmu pengetahuan adalah produk dari istemologepi.
Contoh:
  • Ilmu Alam hanya bisa menjadi pasti setelah lapangannya dibatasi ke dalam hal yang bahani (materiil saja). Ilmu-ilmu alam menjawab pertanyaan tentang berapa jarak matahari.
  • Ilmu Psikologi hanya bisa meramalkan perilaku manusia jika lingkup pandangannya dibatasi ke dalam segi umum dari perilaku manusia yang konkret. Ilmu psikologi menjawab apakah seorang pemudi cocok menjadi perawat.

Syarat-syarat ilmu
Berbeda dengan pengetahuan, ilmu merupakan pengetahuan khusus tentang apa penyebab sesuatu dan mengapa. Ada persyaratan ilmiah sesuatu dapat disebut sebagai ilmu. Sifat ilmiah sebagai persyaratan ilmu banyak terpengaruh paradigma ilmu-ilmu alam yang telah ada lebih dahulu.
  1. Objektif.  Ilmu harus memiliki objek kajian yang terdiri dari satu golongan masalah yang sama sifat hakikatnya, tampak dari luar maupun bentuknya dari dalam. Objeknya dapat bersifat ada, atau mungkin ada karena masih harus diuji keberadaannya. Dalam mengkaji objek, yang dicari adalah kebenaran, yakni persesuaian antara tahu dengan objek, sehingga disebut kebenaran objektif; bukan subjektif berdasarkan subjek peneliti atau subjek penunjang penelitian.
  2. Metodis adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk meminimalisasi kemungkinan terjadinya penyimpangan dalam mencari kebenaran. Konsekuensinya, harus ada cara tertentu untuk menjamin kepastian kebenaran. Metodis berasal dari bahasa Yunani “Metodos” yang berarti: cara, jalan. Secara umum metodis berarti metode tertentu yang digunakan dan umumnya merujuk pada metode ilmiah.
  3. Sistematis. Dalam perjalanannya mencoba mengetahui dan menjelaskan suatu objek, ilmu harus terurai dan terumuskan dalam hubungan yang teratur dan logis sehingga membentuk suatu sistem yang berarti secara utuh, menyeluruh, terpadu , dan mampu menjelaskan rangkaian sebab akibat menyangkut objeknya. Pengetahuan yang tersusun secara sistematis dalam rangkaian sebab akibat merupakan syarat ilmu yang ketiga.
  4. Universal. Kebenaran yang hendak dicapai adalah kebenaran universal yang bersifat umum (tidak bersifat tertentu). Contoh: semua segitiga bersudut 180º. Karenanya universal merupakan syarat ilmu yang keempat. Belakangan ilmu-ilmu sosial menyadari kadar ke-umum-an (universal) yang dikandungnya berbeda dengan ilmu-ilmu alam mengingat objeknya adalah tindakan manusia. Karena itu untuk mencapai tingkat universalitas dalam ilmu-ilmu sosial, harus tersedia konteks dan tertentu pula.

Teknologi
Teknologi adalah metode ilmiah untuk mencapai tujuan praktis; ilmu pengetahuan terapan atau dapat pula diterjemahkan sebagai keseluruhan sarana untuk menyediakan barang-barang yang diperlukan bagi kelangsungan dan kenyamanan hidup manusia.
Dalam memasuki Era Industrialisasi, pencapaiannya sangat ditentukan oleh penguasaan teknologi karena teknologi adalah mesin penggerak pertumbuhan melalui industri.
Sebagian beranggapan teknologi adalah barang atau sesuatu yang baru. namun, teknologi itu telah berumur sangat panjang dan merupakan suatu gejala kontemporer. Setiap zaman memiliki teknologinya sendiri.
Kemajuan Teknologi
Dalam bentuk yang paling sederhana, kemajuan teknologi dihasilkan dari pengembangan cara-cara lama atau penemuan metode baru dalam menyelesaikan tugas-tugas tradisional seperti bercocok tanam, membuat baju, atau membangun rumah.
Ada tiga klasifikasi dasar dari kemajuan teknologi yaitu :
  1. Kemajuan teknologi yang bersifat netral (bahasa Inggris: neutral technological progress)
    Terjadi bila tingkat pengeluaran (output) lebih tinggi dicapai dengan kuantitas dan kombinasifaktor-faktor pemasukan (input) yang sama.
  2. Kemajuan teknologi yang hemat tenaga kerja (bahasa Inggris: labor-saving technological progress)
    Kemajuan teknologi yang terjadi sejak akhir abad kesembilan belas banyak ditandai oleh meningkatnya secara cepat teknologi yang hemat tenaga kerja dalam memproduksi sesuatu mulai dari kacang-kacangan sampai sepeda hingga jembatan.
  3. Kemajuan teknologi yang hemat modal (bahasa Inggris: capital-saving technological progress)
    Fenomena yang relatif langka. Hal ini terutama disebabkan karena hampir semua riset teknologi dan ilmu pengetahuan di dunia dilakukan di negara-negara maju, yang lebih ditujukan untuk menghemat tenaga kerja, bukan modalnya.
Pengalaman di berbagai negara berkembang menunjukan bahwa campur tangan langsung secara berlebihan, terutama berupa peraturan pemerintah yang terlampau ketat, dalam pasar teknologi asing justru menghambat arus teknologi asing ke negara-negara berkembang.
Di lain pihak suatu kebijaksanaan ‘pintu yang lama sekali terbuka’ terhadap arus teknologi asing, terutama dalam bentuk penanaman modal asing (PMA), justru menghambat kemandirian yang lebih besar dalam proses pengembangan kemampuan teknologi negara berkembang karena ketergantungan yang terlampau besar pada pihak investor asing, karena merekalah yang melakukan segala upaya teknologi yang sulit dan rumit.

ILMU PENGETAHUAN TEKNOLOGI DAN NILAI

Ilmu pengetahuan dan teknologi sering dikaitkan dengan nilai atau moral. Hal ini besar perhatiannya tatkala dirasakan dampaknya melalui kebijaksanaan pembangunan, yang pada hakikatnya adalah penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Penerapan ilmu pengetahuan khususnya teknologi sering kurang memperhatikan masalah nilai, moral atau segi-segi manusiawinya. Keadaan demikian tidak luput dari falsafah pembangunannya itu sendiri, dalam menentukan pilihan antara orientasi produksi dengan motif ekonomi yang kuat, dengan orientasi nilai yang menyangkut segi-segi kemanusiaan yang terkadang harus dibayar lebih mahal.
Ilmu dapatlah dipandang sebagai produk, sebagai proses, dan sebagai paradigma etika (Jujun S. Suriasumantri, 1984). Ilmu dipandang sebagai proses karena ilmu merupakan hasil darikegiatan sosial, yang berusaha memahami alam, manusia dan perilakunya baik secara individu atau kelompok. Apa yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan seperti sekarang ini, merupakan hasil penalaran (rasio) secara objektif. Ilmu sebagai produk artinya ilmu diperoleh dari hasil metode keilmuwan yang diakui secara umum dan universal sifatnya. Oleh karena itu ilmu dapat diuji kebenarannya, sehingga tidak mustahil suatu teori yang sudah mapan suatu saat dapat ditumbangkan oleh teori lain. Ilmu sebagai ilmu, karena ilmu selain universal, komunal, juga alat menyakinkan sekaligus dapat skeptis, tidak begitu saja mudah menerima kebenaran.
IImu adalah bukan tujuan tetapi sebagai alat atau sarana dalam rangka meningkatkan taraf hidup manusia. dengan memperhatikan dan mengutamakan kodrat dan martabat manusia serta menjaga kelestarian lingkungan alam.
Sikap ilmuwan dibagi menjadi dua golongan :
  1. Golongan yang menyatakan ilmu dan teknologi adalah bersifat netral
    terhadap nilai-nilai baik secara ontologis maupun secara aksiologis, soal
    penggunaannya terserah kepada si ilmuwan itu sendiri, apakah digunakan
    untuk tujuan baik atau tujuan buruk. Golongan ini berasumsi bahwa
    kebenaran itu dijunjung tinggi sebagai nilai, sehingga nilai-nilai
    kemanusiaan Iainnya dikorbankan demi teknologi.
  2. Golongan yang menyatakan bahwa ilmu dan teknologi itu bersifat netral
    hanya dalam batas-batas metafisik keilmuwan, sedangkan dalam
    penggunaan dan penelitiannya harus berlandaskan pada asas-asas moral
    atau nilai-nilai. golongan ini berasumsi bahwa ilmuwan telah mengetahui
    ekses-ekses yang terjadi apabiia ilmu dan teknologi disaIahgunakan.
    Nampaknya iImuwan goiongan kedua yang patut kita masyarakatkan
    sikapnya sehingga ilmuwan terbebas dari kecenderungan “pelacuran”
    dibidang ilmu dan teknologi, dengan mengorbankan nilai-nilai
    kemanusiaan.
Upaya untuk menjinakkan teknologi diantaranya :
  1. Mempertimbangkan atau kalau perlu mengganti kriteria utama dalam
    menolak atau menerapkan suatu inovasi teknologi yang didasarkan pada
    keuntungan ekonomis atau sumbangannya kepada pertumbuhan ekonomi.
  2. Pada tingkat konsekuensi sosial, penerapan teknologi harus merupakan
    hasil kesepakatan ilmuan sosial dari berbagai disiplin ilmu.

KEMISKINAN

Kemiskinan lazimnya dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan untuk
memenuhi kebutuhan hidup yang pokok. dikatakan berada di bawah garis
kemiskinan apabila pendapatan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup
yang paling pokok seperti pangan, pakaian, tempat berteduh, dB. (Emil Salim, Kemiskinan merupakan tema sentral dari perjuangan bangsa, sebagai
inspirasi dasar dan perjuangan akan kemerdekaan bangsa, dan motivasi fundamental
dari cita-cita menciptakan masyarakat adil dan makmur.
Garis kemiskinan, yang menentukan batas minimum pendapatan yang
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pokok, bisa dipengaruhi oleh tiga hal:
  1. Persepsi manusia terhadap kebutuhan pokok yang diperlukan,
  2. Posisi manusia dalam lingkungan sekitar, dan
  3. Kebutuhan objektif manusia untuk bisa hidup secara manusiawi.
Atas dasar ukuran ini maka mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan
memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
  1. Tidak memiliki faktor produksi sendiri seperti tanah, modal, keterampilan,
    dsb.;
  2. Tidak memiliki kemungkinan untuk memperoleh asset produksi dengan
    kekuatan sendiri, seperti untuk memperoleh tanah garapan atau modal
    usaha:
  3. Tingkat pendidikan mereka rendah, tidak sampai tamat sekolah dasar
    karena harus membantu orang tua mencari tambahan penghasilan;
  4. Kebanyakan tinggal di desa sebagai pekerja bebas self employed),
    berusaha apa saja;
  5. Banyak yang hidup di kota berusia muda, dan tidak mempunyai
    keterampilan.
Pola relasi dalam struktur sosial ekonomi ini dapat diuraikan sebagai berikut :
  • Pola relasi antara manusia (subjek) dengan sumber-sumber kemakmuran
    ekonomi seperti alat-alat produksi, fasilitas-fasilitas negara, perbankan,
    dan kekayaan sosial. Apakah ini dimiliki, disewa, bagi-hasil, gampang
    atau sulit bagi atau oleh subjek tersebut.
  • Pola relasi antara subjek dengan hasil produksi. Ini menyangkut masalah
    distribusi hasil, apakah memperoleh apa yang diperlukan sesuai dengan
    kelayakan derajat hidup manusiawi.
  • Pola relasi antara subjek atau komponen-komponen sosial-ekonomi dalam
    keseluruhan mata rantai kegiatan dengan bantuan sistem produksi.
    Dalam hal iniadalah mekanisme pasar, bagaimana posisi dan peranan
    manusia sebagai subjek dalam berfungsinya mekanisme tersebut.






SUMBER: click here

TEKNOLOGI

Teknologi atau pertukangan memiliki lebih dari satu definisi. Salah satunya adalah pengembangan dan aplikasi dari alat, mesin, material dan proses yang menolong manusia menyelesaikan masalahnya. Sebagai aktivitas manusia, teknologi mulai dikenal sebelum sains dan teknik.
Teknologi dibuat atas dasar ilmu pengetahuan dengan tujuan untuk mempermudah pekerjaan manusia, namun jika pada kenyataannya teknologi malah mempersulit, layakkah disebut Ilmu Pengetahuan?
Kata teknologi sering menggambarkan penemuan dan alat yang menggunakan prinsip dan proses penemuan saintifik yang baru ditemukan. Meskipun demikian, penemuan yang sangat lama seperti roda juga disebut sebuah teknologi.
Definisi lainnya (digunakan dalam ekonomi) adalah teknologi dilihat dari status pengetahuan kita yang sekarang dalam bagaimana menggabungkan sumber daya untuk memproduksi produk yang diinginkan( dan pengetahuan kita tentang apa yang bisa diproduksi). Oleh karena itu, kita dapat melihat perubahan teknologi pada saat pengetahuan teknik kita meningkat.
Teknologi adalah satu ciri yang mendefinisikan hakikat manusia yaitu bagian dari sejarahnya meliputi keseluruhan sejarah. Teknologi, menurut Djoyohadikusumo (1994, 222) berkaitan erat dengan sains (science) dan perekayasaan (engineering). Dengan kata lain, teknologi mengandung dua dimensi, yaitu science dan engineering yang saling berkaitan satu sama lainnya. Sains mengacu pada pemahaman kita tentang dunia nyata sekitar kita, artinya mengenai ciri-ciri dasar pada dimensi ruang, tentang materi dan energi dalam interaksinya satu terhadap lainnya.
Makna Teknologi, menurut Capra (2004, 106) seperti makna ‘sains’, telah mengalami perubahan sepanjang sejarah. Teknologi, berasal dari literatur Yunani, yaitu technologia, yang diperoleh dari asal kata techne, bermakna wacana seni. Ketika istilah itu pertama kali digunakan dalam bahasa Inggris di abad ketujuh belas, maknanya adalah pembahasan sistematis atas ‘seni terapan’ atau pertukangan, dan berangsur-angsur artinya merujuk pada pertukangan itu sendiri. Pada abad ke-20, maknanya diperluas untuk mencakup tidak hanya alat-alat dan mesin-mesin, tetapi juga metode dan teknik non-material. Yang berarti suatu aplikasi sistematis pada teknik maupun metode. Sekarang sebagian besar definisi teknologi, lanjut Capra (2004, 107) menekankan hubungannya dengan sains. Ahli sosiologi Manuel Castells seperti dikutip Capra (2004, 107) mendefinisikan teknologi sebagai ‘kumpulan alat, aturan dan prosedur yang merupakan penerapan pengetahuan ilmiah terhadap suatu pekerjaan tertentu dalam cara yang memungkinkan pengulangan.
Fenomena teknik pada masyarakat
Fenomena teknik pada masyarakat teknik, menurut Sastrapratedja (1980) memiliki ciri-ciri sebagia berikut :
1. Rasionalistas, artinya tindakan spontan oleh teknik diubah menjadi tindakan yang direncanakan dengan perhitungan rasional
2. Artifisialitas, artinya selalu membuat sesuatu yang buatan tidak alamiah
3. Otomatisme, artinya dalam hal metode, organisasi dan rumusan dilaksanakan secara otomatis. Demikian juga dengan teknik mampu mengeliminasikan kegiatan non teknis menjadi kegiatan teknis
4. Teknik berkembang pada suatu kebudayaan
5. Monisme, artinya semua teknik bersatu, saling berinteraksi dan saling bergantung
6. Universalisme, artinya teknik melampaui batas-batas kebudayaan dan ediologi, bahkan dapat menguasai kebudayaan
7. otonomi artinya teknik berkembang menurut prinsip-prinsip sendiri.
Teknologi yang berkembang denan pesat meliputi berbagai bidang kehidupan manusia. Luasnya bidang teknik digambarkan sebagaia berikut :
1. Teknik meluputi bidang ekonomi, artinya teknik mampu menghasilkan barang-barang industri. Dengan teknik, mampu mengkonsentrasikan capital sehingga terjadi sentralisasi ekonomi
2. Teknik meliputi bidang organisasional seperti administrasi, pemerintahan, manajemen, hukum dan militer
3. Teknik meliputi bidang manusiawi. Teknik telah menguasai seluruh sector kehidupan manusia, manusia semakin harus beradaptasi dengan dunia teknik dan tidak ada lagi unsur pribadi manusia yang bebas dari pengaruh teknik.





SUMBER: click here

ILMU PENGETAHUAN

Pengertian ilmu yang terdapat dalam kamus Bahasa Indonesia adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu (Admojo, 1998). Mulyadhi Kartanegara mengatakan ilmu adalah any organized knowledge. Ilmu dan sains menurutnya tidak berbeda, terutama sebelum abad ke-19, tetapi setelah itu sains lebih terbatas pada bidang-bidang fisik atau inderawi, sedangkan ilmu melampauinya pada bidang-bidang non fisik, seperti metafisika.
Adapun beberapa definisi ilmu menurut para ahli seperti yang dikutip oleh Bakhtiar tahun 2005 diantaranya adalah :
• Mohamad Hatta, mendefinisikan ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum kausal dalam suatu golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun menurut kedudukannya tampak dari luar, maupun menurut bangunannya dari dalam.
• Ralph Ross dan Ernest Van Den Haag, mengatakan ilmu adalah yang empiris, rasional, umum dan sistematik, dan ke empatnya serentak.
• Karl Pearson, mengatakan ilmu adalah lukisan atau keterangan yang komprehensif dan konsisten tentang fakta pengalaman dengan istilah yang sederhana.
• Ashley Montagu, menyimpulkan bahwa ilmu adalah pengetahuan yang disusun dalam satu sistem yang berasal dari pengamatan, studi dan percobaan untuk menentukan hakikat prinsip tentang hal yang sedang dikaji.
• Harsojo menerangkan bahwa ilmu merupakan akumulasi pengetahuan yang disistemasikan dan suatu pendekatan atau metode pendekatan terhadap seluruh dunia empiris yaitu dunia yang terikat oleh faktor ruang dan waktu, dunia yang pada prinsipnya dapat diamati oleh panca indera manusia. Lebih lanjut ilmu didefinisikan sebagai suatu cara menganalisis yang mengijinkan kepada ahli-ahlinya untuk menyatakan suatu proposisi dalam bentuk : “ jika …. maka “.
• Afanasyef, menyatakan ilmu adalah manusia tentang alam, masyarakat dan pikiran. Ia mencerminkan alam dan konsep-konsep, katagori dan hukum-hukum, yang ketetapannya dan kebenarannya diuji dengan pengalaman praktis.
Berdasarkan definisi di atas terlihat jelas ada hal prinsip yang berbeda antara ilmu dengan pengetahuan. Pengetahuan adalah keseluruhan pengetahuan yang belum tersusun, baik mengenai matafisik maupun fisik. Dapat juga dikatakan pengetahuan adalah informasi yang berupa common sense, tanpa memiliki metode, dan mekanisme tertentu. Pengetahuan berakar pada adat dan tradisi yang menjadi kebiasaan dan pengulangan-pengulangan. Dalam hal ini landasan pengetahuan kurang kuat cenderung kabur dan samar-samar. Pengetahuan tidak teruji karena kesimpulan ditarik berdasarkan asumsi yang tidak teruji lebih dahulu. Pencarian pengetahuan lebih cendrung trial and error dan berdasarkan pengalaman belaka (Supriyanto, 2003).
Pembuktian kebenaran pengetahuan berdasarkan penalaran akal atau rasional atau menggunakan logika deduktif. Premis dan proposisi sebelumnya menjadi acuan berpikir rasionalisme. Kelemahan logika deduktif ini sering pengetahuan yang diperoleh tidak sesuai dengan fakta.
Secara lebih jelas ilmu seperti sapu lidi, yakni sebagian lidi yang sudah diraut dan dipotong ujung dan pangkalnya kemudian diikat, sehingga menjadi sapu lidi. Sedangkan pengetahuan adalah lidi-lidi yang masih berserakan di pohon kelapa, di pasar, dan tempat lainnya yang belum tersusun dengan baik.
“ Ilmu pengetahuan” lazim digunakan dalam pengertian sehari-hari, terdiri dari dua kata, “ ilmu “ dan “ pengetahuan “, yang masing-masing punya identities sendiri-sendiri. Dikalangan ilmuwan ada keseragaman pendapat, bahwa ilmu itu selalu tersusun dari pengetahuan secara teratur, yang diperoleh dengan pangkal tumpuan (objek) tertentu dengan sistematis, metodis, rasional/logis, empiris, umum dan akumulatif. Pengertian pengetahuan sebagai istilah filsafat tidaklah sederhana karena bermacam-macam pandangan dan teori (epistemologi), diantaranya pandangan Aristoteles, bahwa pengetahuan merupakan pengetahuan yang dapat diinderai dan dapat merangsang budi. Dan oleh Bacon & David Home pengetahuan diartikan sebagai pengalaman indera dan batin.
Ilmu pengetahuan pada dasarnya memiliki tiga komponen penyangga tubuh pengetahuan yang disusunnya yaitu ; ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Epistemologis hanyalah merupakan cara bagaimana materi pengetahuan diperoleh dan disusun menjadi tubuh ilmu pengetahuan. Ontologis dapat diartikan hakekat apa yang dikaji oleh pengetahuan, sehingga jelas ruang lingkup ujud yang menajdi objek penelaahannya. Atau dengan kata lain ontologism merupakan objek formal dari suatu pengetahuan. Komponen aksiologis adalah asas menggunakan ilmu pengetahuan atau fungsi dari ilmu pengetahuan.
Pembentukan ilmu akan berhadapan dengan objek yang merupakan bahan dalam penelitian, meliputi objek material sebagai bahan yang menadi tujuan penelitian bulat dan utuh, serta objek formal, yaitu sudut pandangan yang mengarah kepada persoalan yang menjadi pusat perhatian. Langkah-langkah dalam memperoleh ilmu dan objek ilmu meliputi rangkaian kegiatan dan tindakan. Dimulai dengan pengamatan, yaitu suatu kegiatan yang diarahkan kepada fakta yang mendukung apa yang dipikirkan untuk sistemasi, kemudian menggolong-golongkan dan membuktikan dengan cara berpikir analitis, sistesis, induktif dan deduktif. Yang terakhir ialah pengujian kesimpulan dengan menghadapkan fakta-fakta sebagai upaya mencari berbagai hal yang merupakan pengingkaran.





SUMBER: click here

Selasa, 06 Januari 2015

INTEGRASI INTERNASIONAL

Pengantar
Teori integrasi internasional dianalogikan sebagai satu payung yang memayungi berbagai pendekatan dan metode penerapan –yaitu federalisme, pluralisme, fungsionalisme, neo-fungsionalisme, dan regionalisme. Meskipun pendekatan ini sangat dekat dengan kehidupan kita saat ini, tetapi hal ini rasanya masih sangat jauh dari realisasinya (dalam pandangan state-sentris/idealis), sebagaimana sekarang banyak teoritisi integrasi memfokuskan diri pada organisasi internasional dan bagaimana ia berubah dari sekedar alat menjadi struktur dalam negara.
Integrasi politik menunjuk pada sebuah ‘proses kepada’ atau sebuah ‘produk akhir’ penyatuan politik di tingkat global atau regional di antara unit-unit nasional yang terpisah. Hal ini bukanlah sesuatu yang baru dalam peradaban manusia, sedangkan dalam tingkat hubungan internasional ia menjadi ‘kesadaran baru’ dan ‘terminologi baru’ dan menjadi studi politik sistemik utama pada tahun 1950-an hinggga 60-an [Charles Pentland 1973. International Theory and European Integration. London: Faber and Faber Ltd.]. Pentland mendefinisikan integrasi politik internasional sebagai sebuah proses di mana sekelompok masyarakat, yang pada awalnya diorganisasikan dalam dua atau lebih negara bangsa yang mandiri, bersama-sama mengangkat sebuah keseluruhan politik yang dalam beberapa pengertian dapat digambarkan sebagai sebuah ‘community’.
Kesepakatan yang dibuat atas integrasi ini adalah dalam kerangka penyatuan yang kooperatif bukan koersif. Ambiguitas yang terjadi dalam pemaknaan ini adalah penggunaan istilah proses ataukah hasil/end-product. Hal ini dapat diatasi oleh Lion Lindberg [dalam Political Integration as a Multi dimensional Phenomenon requiring Multivariate Measurement, Jurnal International Organization edisi Musim Gugur, 1970] dengan berfikir “integrasi politik adalah proses di mana bangsa-bangsa tidak lagi berhasrat dan mampu untuk menyelenggarakan kunci politik domestik dan luar negeri secara mandiri dari yang lain, malahan mencari keputusan bersama atau mendelegasikan proses pembuatan kebijakan pada organ-organ kontrol baru.”
Konsep integrasi internasional/regional berbeda dengan konsep serupa tentang internasionalisme/regionalisme, kerjasama internasional/regional, organisasi internasional/regional, gerakan internasional/regional, sistem internasional/regional, dll. Integrasi menitikberatkan perhatiannya pada proses atau relationship, di mana pemerintahan secara kooperatif bertalian bersama seiring dengan perkembangan homogenitas kebudayaan, sensitivitas tingkah laku, kebutuhan sosial ekonomi, dan interdependensi yang dibarengi dengan penegakan institusi supranasional yang multidimensi demi memenuhi kebutuhan bersama. Hasil akhirnya adalah kesatuan politik dari negara-negara yang terpisah di tingkat global maupun regional [Tom Travis, Usefulness of Four Theories of International Relations in Understanding the emerging Order, Jurnal International Studies 31].
Dua Model dari End Product
Terdapatlah dua tipe dalam analisa integrative process, yaitu state model dan community model. Dalam terminologi institusional, model negara sangatlah spesifik, terutama bagi penulis Federalis, di mana konsensus integrasi haruslah konstitusional –pandangan yang kurang lebih sama terdapat pada kaum Neo-fungsionalis. Sedangkan model komunitas menitikberatkan pada proses yang terjadi dalam hubungan antara rakyat/penduduk negara, dengan sedikit keterlibatan state. Lembaga politik dipandang kurang signifikan ketimbang pertumbuhan common values, perceptions, dan habits. Hal ini didukung oleh kaum pluralis, fungsionalis. Dan kaum regionalis, berpandangan jika integrasi regional yang terjadi lebih terlembagakan, maka ia state model, jika kurang terlembaga, maka ia community model.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Proses Integrasi
Dalam menjelaskan proses perubahan menuju integrasi, tipe variabel mandirinya dapat dibedakan menjadi 3 faktor eksponensial. Pertama, variabel politico-security, yang level of analysis-nya ada pada negara, yang perhatian terhadap power, responsiveness, kontrol elit politik dalam kebiasaan politik publik umum dan dalam ancaman keamanan atas negara. Hal ini dilakukan oleh penulis Pluralis dan Federalis. Berbeda dengan kaum fungsionalis dan neo-fungsionalis yang menekankan pentingnya variabel sosial ekonomi, dan teknologi, yang secara tidak langsung membawa perubahan dan penyatuan politik. Faktor ketiga dipakai oleh kaum regionalis dalam analisanya, yaitu keberadaan kedua variabel tersebut dalam proses integrasi. Mudahnya digambarkan dalam tabel berikut:
Federalisme
Asumsi: Perang disebabkan oleh sistem negara bangsa yang anarkis. Transformasi menuju integrasi terjadi jika rakyat melihat keuntungan dalam mentransfer power dan loyalitasnya pada pemerintahan dunia. Pengopinian atas pengaturan dan pemerintahan umat manusia, adalah melalui jalur diskusi dan edukasi.
Pendukung: Amitai Etzioni, Grenville Clark, Louis B Sohn, Carl J Fiedrich, Edith Wynner, H Brugmans, P Duclos, W H Riker, Stringfellow Barr.
Tujuannya adalah formasi grup negara yang berdaulat yang menyatukan identitas internasionalnya dalam entitas politik baru yang legal. Sementara jurisdiksinya dibagi, yaitu komplementer antara negara dan pemerintah federal, tetapi memiliki power yang mandiri. Menurut Etzioni, hasil akhirnya adalah sebuah komunitas politik yang memiliki tiga macam integrasi. (a) kontrol efektif atas kekuatan koersif (violence), (b) pemusatan pembuatan keputusan administratif atas unit-unit ekonomi, (c) dan identifikasi politik. Sedangkan Pentland meringkasnya menjadi, “integrasi bagi federallis adalah permasalahan high politics.
Kritik: Inis L Claude, Jr dalam Swords into Plowshares menyebutnya sebagai impractical, utopian dan unrealistic serta didasari asumsi yang sangat naif. Adalah terlalu menyederhanakan masalah untuk meyakini bahwa states bersedia menyerahkan kedaulatannya atau sebagian darinya demi federasi dunia.
Pluralisme
Asumsi: Karl W Deutsch adalah salah seorang penggagas pluralisme, ia berasumsi pada adanya tendensi pada state untuk berintegrasi atau pun berkonflik dengan tetangganya dengan (basic) perhitungan, pendirian (opini) publik dan pola-pola tingkah lakunya. Konsepsi pluralis juga bersandar pada prioritas perdamaian internasional serta keamanan nasional, dan asosiasi politik dengan aksi diplomatik stategis. Asumsi lain yang tak kalah penting yaitu negara bangsa adalah pemusatan fakta atas kehidupan politik modern sekaligus fokus pusat dari seluruh analisa politik.
Pentland menjelaskan, bahwa integrasi oleh pluralis dipandang sebagai formasi dari sebuah ‘community of states’, yang didefinisikan dengan sebuah level pertukaran diplomatik, ekonomi, sosial dan budaya yang tinggi dan self-sustain di antara anggotanya. Pendekatan ini sering disebut pula pendekatan komunikasi, yang mengukur proses integrasi dengan mengamati aliran transaksi internasional, seperti (perdagangan, turis, surat, dan imigran), yang pada akhirnya membuat jalan bagi evolusi ‘komunitas keamanan’ (community of states) atau integrasi sistem sosial politik.
Deutsch telah menyusun dua tipe komunitas keamanan, yaitu tipe ‘amalgamasi’ (seperti USA) yang memiliki karakteristik satu pemerintahan federal yang menjalankan pusat kontrol politik atas sebuah kawasan seukuran benua; dan tipe ‘plural,’ yang memiliki karakteristik kurangnya otoritas politik pusat, tetapi tiap unit bangsa tidak berkelahi satu-sama lain dan tidak membentengi perbatasannya. Couloumbis dan Wolfe juga menandaskan end product dari dua tipe ini. Komunitas keamanan ini bukanlah interdependensi anggota (sebagaimana dalam pandangan federalis/liberalis) tetapi lebih pada kemauan anggotanya untuk berkontemplasi mengenai penyelesaian konflik mereka jika saja dilakukan melalui jalan kekerasan. Dalam pandangan perdamaian dan keamanan hubungan internasional kontemporer, tentunya tipe pluralistik lebih relevan dan lebih mungkin diwujudkan sebagaimana ia tidak begitu ambisius, serta tidak memakan dana yang besar.
Sementara itu politik digunakan dalam makna diplomasi dan strategi kemanan serta preservasi kebijakan otonomik. Singkatnya, tujuan integrasi politik bagi teoritisi pluralis adalah sebuah sistem internasional negara-negara bangsa yang maju, tanpa institusi pemerintahan bersama, tetapi pada saat yang sama terkarakteristikkan oleh sebuah komunikasi dan ‘mutual responsiveness’ tingkat tinggi diantara anggotanya yang mengubah resolusi konflik sebelumnya yang cenderung melalui kekerasan yang tak dapat dibayangkan dalam (sehingga) masa depan yang dapat diramalkan. Untuk benar-benar teintegrasi dalam pandangan pluralis, negara harus membentuk sebuah ‘komunitas.’ Oleh karenanya, perasaan akan kewajiban atas anggota yang lain harus benar-benar berakar lebih kuat ketimbang hukum internasional atau sumber-sumber tradisional kerelaan internasional (international compliance).
Kritik: Pertama, meskipun metode dan pendekatan yang dipakai seksama dan sophisticated, ia masih berdasarkan personal judgment dan personal selectiveness yang tinggi, ini disebabkan penjelasan dan prediksinya muncul dari beberapa asumsi yang tidak selalu benar. Kedua, pola stablitas nasionalnya masih memiliki kemungkinan di-reinforced dan diganggu oleh faktor yang tidak ada hubungan langsungnya, semisal perubahan teknologi, atau pergantian struktur power dalam sistem internasional global. Ketiga, asumsi bahwa perubahan berasal dari sikap/pendirian publik dan pola tingkah laku tidak sepenuhnya benar, mengingat dua variabel tersebut pada galibnya mengikuti jalur yang ditentukan state leader/pemerintah sebagai institusi legal. Keterlibatan dan pengaruh publik dalam kebijakan luar negeri pun sangat minim. Keempat, fungsionalis dan neo-fungsionalis mengkritik, bahwa definisi pluralis atas integrasi sangatlah minim, dimana ia hanya meliputi preservasi perdamaian di antara bangsa-bangsa. Jikalau alasan berperang adalah melewati batas bidang diplomasi dan berada lebih dalam, yaitu dalam hal sumber-sumber kehidupan sosial ekonomi, atau jikalau kesejahteraan atau social justice bernilai lebih ketimbang perdamaian dan dan keamanan, maka tipe integrasi yang lebih ambisius dan lebih luas jangkauannya sangatlah dibutuhkan. Akan tetapi kritik ini ditujukan jikalau sistem internasional memang seperti ‘itu,’ akan tetapi pada kenyataannya, sistem internasional adalah seperti yang diungkapkan pluralisme, sehingga kritik yang berasal dari logika fungsionalis dan retorika federalis tidak akan terlalu membuat perbedaan.
Fungsionalisme
Asumsi: Pertama, manusia cukup rasional untuk merespon kebutuhannya akan kerjasama jika itu membawanya pada keuntungan. Asumsi ini jelas sekali menciptakan banyak sekali permintaan akan human reason. Kedua, manusia memiliki sejumlah pengenalan alamiah, sehingga ia mampu menolak sesuatu hasil akhir dan memilih hasil akhir lain yang tetap mengakomodasi kebutuhan mereka. Pada akhirnya, manusia lebih memilih untuk tidak membunuh, ia lebih memilih perdamaian, hukum, dan keteraturan. Ketiga, perang disebabkan oleh kemiskinan, kesengsaraan, keputus-asaan, jika kondisi ini dapat dieliminasi, maka rangsangan untuk menguatkan militer akan surut. Oleh karenanya, Fungsionalis mendukung sebuah pendekatan bertahap atas kesatuan global yang didesain untuk mengisolasi dan pada akhirnya mengubah kekeraskepalaan negara bangsa yang telah usang. Keempat, kecemburuan atas kedaulatan dijumpai hanya dalam unit teritorial, dan tidak pada fungsional. Oleh karena itu, koordinasi perbanyakan agensi yang overlapping tidak sesulit mendamaikan negara-negara. Kelima, optimisme bahwa organisasi yang didesain untuk sebuah kebutuhan atau permasalahan spesifik akan hilang manakala kebutuhan tersebut terpenuhi.
Fungsionalisme adalah teori paling tua yang membahas integrasi, dimana ia membangun ‘perdamaian dengan potongan-potongan’ lewat organisasi transnasional yang fokus pada kedaulatan bersama ketimbang menyerahkan kedaulatan masing-masing negara pada sebuah institusi supranasional. Pendukung utamanya adalah, David Mitrany, Leonard Woolf, Norman Angell, Robert Cecil, G.D.H. Cole, Jean Monnet.
Kritik: Pertama, fungsionalis samar dalam menjelaskan organisasi global sebagai end product. Mereka ambigu dalam menjelaskan bagaimana ia akan terkoordinasi dengan states Kedua, menurut Paul Taylor [International Cooperation Today.1971. London: Elek Boos Ltd.], fungsionalisme belum mampu melakukan analisa secara deskriptif sistemik. Ketiga, asumsi yang digunakan belum tepat mengenai penyebab perang, apakah kemiskinan dan kesengsaraan yang menyebabkan perang, atau justru perang yang menyebabkan kemiskinan dan keputusasaan. Keempat, tidak memperhitungkan sifat alami manusia dalam politik yang bisa saja baik dan mau bekerja sama, bisa juga buruk dan egois. Kelima, Fungsionalisme tidak memperhitungkan waktu (ia terlalu lamban), padahal jika menggunakan asumsi sosial-ekonomi, maka dalam era hi-tech ini, masyarakat sangat membutuhkan solusi instan atas permasalahan sosial ekonomi tersebut [Inis L Claude, Jr. 1971. Swords into Plowshares. New York: Random House.]. Keenam, desakan fungsionalisme untuk memisahkan aktivitas di bidang politik dan sosial ekonomi adalah kesalahan, jika merujuk kenyataan yang ada bahwa paduan keduanya malah membuat strategi yang bagus dalam perkembangan keduanya. Akan tetapi dari semua kritik yang ada, kita harus ingat ini hanyalah sekedar pendekatan, bukanlah obat mujarab, dan ia pula yang mendasari perdamaian antara Jerman dan Perancis pasca tiga perang, serta pembentukan PBB.
Neo Fungsionalisme
Ernst Haas sebagai penganut utama teori ini ingin memperbaiki fungsionalisme klasik agar lebih realistik dan penuh arti, agar relevan dan memiliki hubungan yang tertata dengan pendekatan teoritis lain dalam ilmu sosial, dan menciptakan proposisi yang teruji melalui bukti-bukti empiris sejarah integrasi Eropa.
Asumsi yang digunakan, pertama adalah bahwa kehidupan sosial didominasi oleh kompetisi antar kepentingan. Kedua, adanya konsensus di mana kolompok-kelompok diajak untuk mengejar kepentingannya melalui kerangka kerja yang mengharapkan proses integrasi. Ketiga, keadaan psikologi elit dalam integrasi memuncak dalam kemunculan sistem politik yang baru. Keempat, neofungsionalisme mengutamakan faktor politik dalam proses penggabungan negara-negara merdeka. Neofungsionalisme mengharap pencapaian masyarakat supranasional dengan menekankan kerjasama di daerah yang secara politik kontroversial. Teori ini memandang integrasi politik bukan suatu kondisi tapi proses perubahan yang mengarah pada masyarakat politik.
Kritik terhadap neofungsionalisme karena tujuan dari integrasi politik dalam teori ini meninggalkan sesuatu yang tidak dapat dijelaskan, sehingga analisisnya perlu diperbaiki dan diperluas (salah satunya, tidak ada pembedaan antara high dan low politics sebagaimana dibedakan oleh Stanley Hoffman). Neofungsionalisme ragu-ragu untuk meniru model dari negara supranasional. Selain itu, kondisi wilayah yang berbeda yang masalah integrasinya berbeda memerlukan model analisis yang berbeda pula. Sesuatu yang cocok di wilayah Eropa timur bisa tidak sesuai dengan keadaan di wilayah lain.
Regionalisme
Terminologi ini digunakan untuk mengambarkan integrasi regional untuk memelihara keseragaman dengan sub aliran lainnya, seperti federalisme, pluralisme, fungsionalisme, dan neofungsionalisme. Kesuksesan teori integrasi di Eropa Barat menghasilkan kepercayaan bahwa transisi dari sistem negara menuju masyarakat global yang terintegrasi dapat menggunakan jalan integrasi regional. Teori ini mengasumsikan prospek yang lebih baik berkaitan dengan hal-hal politik dalam isu-isu perang dan damai, integrasi dan unifikasi.
Kesamaan budaya, ekonomi, politik, ideologi, dan geografis dalam suatu wilayah diasumsikan dapat memunculkan organisasi yang lebih efektif. Organisasi regional telah siap untuk bekerjasama, dan pengalaman organisasi regional yang sukses akan mempengaruhi dan mendorong ke arah integrasi yang lebih jauh. Regionalisme dapat menghasilkan “model masyarakat” atau “model negara.” Bentuk regionalisme dapat dibedakan berdasarkan kriteria geografis, militer/politik, ekonomi, atau transaksional, bahasa, agama, kebudayaan, dll. Tujuan utama dari organisasi regional adalah untuk menciptakan perjanjian perdamaian dan kerjasama yang saling menguntungkan di berbagai aspek dan penguatan area saling ketergantungan pada negara-negara superpower.
Organisasi regional paska Perang Dunia II terdiri dari tiga tipe yaitu:
1. Organisasi regional gabungan. Dibentuk dari banyak tujuan dan melakukan banyak aktivitas. Contoh : OAS, OAU, Liga Arab, dll.
2. Organisasi pertahanan regional. Sebagai organisasi militer antar negara dalam satu wilayah tertentu. Contoh: SEATO, NATO, Pakta Warsawa, dll.
3. Organisasi fungsional regional. Bekerja dengan pendekatan fungsional terhadap Integrasi regional. Contoh: OPEC, ASEAN, NAFTA, dll.
Tren ke arah regionalisme terus berlangsung. Pada tahun 1990-an negara-negara di seluruh dunia telah membentuk perjanjian perdagangan regional (RTAs) seperti yang telah terjadi di negara- negara Eropa, Afrika, Asia Timur, Timur Tengah, dan negara-negara di belahan bumi bagian barat. Hal ini menunjukkan perkembangan regionalisme terus berlanjut.
Kritik terhadap regionalisme biasanya ditujukan dalam hubungannya dengan perdamaian dan keamanan internasional. Regionalisme dituduh telah merusak hubungan internasional di mana tiap-tiap unit regional merupakan bagian dari dunia. Selain itu, organisasi regional seringkali mengingkari keberadaan PBB untuk menyelesaikan masalah penting dengan berusaha menyelesaikan sendiri masalah tersebut tanpa meminta bantuan PBB. Walaupun demikian, adanya kepercayaan bahwa perjanjian regional dan organisasi dunia akan terus ada, dan berdampingan dalam usahanya untuk menciptakan perdamaian. Teori integrasi percaya bahwa pertumbuhan organisasi regional akan membantu dalam menyatukan negara. Pertama-tama, di tingkat regional dan kemudian di tingkat global. Secara sederhana, kritik realis percaya bahwa teori ini secara ideal menghilangkan harapan dan keinginan mereka dalam realita dan salah mengartikan kebiasaan internasional. Tidak ada jaminan bahwa tren ke arah integrasi tidak akan berbalik menyerang kaum realis.





SUMBER: click here